Selasa, 22 Maret 2011

Pondok Modern dan Salaf

Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang paling tua usianya di Indonesia, dibandingkan dengan lembaga-lembaga pendidikan umum lainnya. Pada awalnya, pondok pesantren dikelola secara alami, ada kyai, lalu santri datang kepadanya, ada masjid, ada pondokan tempat tinggal santri dan ada pengajaran dengan system sorogan. Menurut Cak Nur (dalam Yasmadi, 2002: 59), hingga tahun 2002—ketika penelitian itu dilakukan–pondok pesantren pada umumnya masih dikelola secara tradisional, karena itu tidak heran jika lembaga pendidikan pondok pesantren, hingga saat ini,  sering disebut lembaga pendidikan tradisional. Meskipun demikian, menurut Zamakhsyari Dhofier (1982: 17-18), setiap pondok pesantren, setradisional apapun, memiliki kiat-kiat dan cara-cara tersendiri untuk mempertahankan diri, khususnya ketika menyangkut dengan dunia luar agar terjadi sebuah dinamika di dalamnya dan mampu survive pada masa berikutnya. Bahkan menurutnya, lembaga-lembaga pesantren itulah dulunya, yang paling menentukan watak keislaman dari kerajaan-kerajaan Islam, dan yang memegang peranan paling penting bagi penyebaran Islam sampai ke pelosok-pelosok melalui peran kyai dan pengasuh-pengasuhnya. Dari lembaga-lembaga pesantren itulah asal-usul sejumlah manuskrip tentang pengajaran Islam di Asia Tenggara. Karena itu menurutnya, untuk dapat betul-betul memahami sejarah Islamisasi di wilayah ini, kita harus mulai mempelajari lembaga-lembaga pesantren tersebut karena lembaga-lembaga inilah yang menjadi anak panah penyebaran Islam dan pemikirannya di Indonesia.

Sebagai sumbu utama dari dinamika sosial, budaya dan keagamaan masyarakat Islam tradisional, pesantren telah membentuk suatu subkultur, yang secara sosiologis-antropologis bisa kita katakan sebagai masyarakat pesantren. Artinya apa yang disebut pesantren di situ bukan semata wujud fisik tempat belajar agama, dengan perangkat bangunan, kitab kuning, santri dan kiainya. Tetapi juga masyarakat dalam pengertian luas yang tinggal di sekelilingnya dan membentuk pola kehidupan budaya, sosial dan keagamaan, yang pola-¬polanya kurang lebih sama dengan yang ber(di)kembang(kan) di atau berorientasi pesantren. Kebudayaan masyarakat tersebut tak bisa dibantah memang dipengaruhi oleh dan diderivasi dari pesantren. Dalam arti ini, masyarakat sekitar tersebut adalah juga “bagian dalam” dari masyarakat pesantren.
Dalam kepustakaan pesantren selama ini, perhatian lebih diarahkan pada hubungan “masyarakat luar” atau dalam kategori lama disebut sebagai “kebudayaan abangan” dengan pesantren. Segala budaya yang berjenis non-pesantren bisa dianggap sebagai abangan. Kendati dalam prakteknya tidak sehitam-putih demikian. Hubungan ini memunculkan dinamika tersendiri dalam kehidupan desa; konflik, ketegangan, komporomi, dan pertukaran budaya. Kyai, seperti terlihat dalam studi, memegang peran utama dalam proses transformasi tersebut.
Clifford Geertz (1960) misalnya, seperti tampak dari judul tulisannya “The Javanese Kiyayi: the Changing Roles of a Cultural Broker”, menye¬but kiai sebagai penghubung budaya antara pesantren dan “du¬nia luar.” Kiai menyaring mana unsur budaya yang boleh masuk dan mana yang tidak. Tetapi, perkembangan teknologi komuni¬kasi dan informasi, yang membuat massifnya alur informasi, membuat kiai tak mungkin lagi untuk menyaringnya. Kiai menjadi kehilangan perannya tersebut, dan kemudian sekedar menjalankan posisi yang sekunder dan tidak kreatif. Kiai akan mengalami kesenjangan budaya dalam masyarakat sekitarnya.
Studi Hiroko Horikoshi (1987) agak bersimpangan dengan tesis Geertz. Dalam kajiannya terhadap sosok seorang kiai (ajengan) di Jawa Barat, ia menunjukkan bahwa kiai bisa berperanan kreatif dalam perubahan sosial. Kiai tidaklah berkeinginan meredam akibat perubahan yang terjadi, tetapi justru mempelopori perubahan sosial dengan caranya sendiri. la bukan melakukan penyaringan informasi, tapi menawarkan agenda perubahan nyata yang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Ia sepe-nuhnya berperan dalam proses perubahan sosial, justru karena ia mafhum bahwa perubahan tersebut merupakan sunnatullah yang tak terelakkan lagi. Persoalan baginya adalah bagaimana kebutuhan akan perubahan ini dapat dipenuhi tanpa merusak jalinan sosial yang telah ada, melainkan justru memanfaatkan jalinan-jalinan sosial tersebut sebagai prosedur dan mekanisme perubahan sosial yang diidealkan.
Tentang peran kyai di dalam pondok pesantren, menurut Mastuhu (1994) dalam penelitiannya tentang dinamika sistem pendidikan pondok pesantren menyatakan bahwa kyai memiliki peran yang berbeda dalam melakukan transformasi ilmu antara di pondok pesantren salaf dengan pondok pesantren modern. Di Pondok Pesantren Salaf, kyai memiliki wewenang yang sangat otoriter dalam segala aspek kehidupan di dalam pondok, sementara santri mengikuti apa yang dikatakan oleh kyai. Santri diibaratkan seperti mayat yang siap diapakan saja oleh kyai dan tidak boleh membantah terhadap apa yang dilakukan kyai terhadapnya. Dari segi metode pembelajaran, kebanyakan kyai di pondok pesantren salaf menerapkan metode sorogan dalam belajar kitab dan santri tidak diperkenankan untuk membaca kitab lain atau mengajarkannya kepada santri lain jika tidak mendapatkan ijazah dari kyai atau ustadznya.
Sementara itu, lanjut Mastuhu (1994), peran kyai di Pondok Modern Gontor dan cabang-cabangnya, berbeda dengan peran kyai di pondok pesantren salaf tersebut.. Dari segi kepemimpinan, wewenang kyai dibatasi oleh Badan Wakaf Pondok, sistem pengajarannya dilakukan di dalam kelas seperti sekolah-sekolah modern, dan santri diperbolehkan membaca kitab apa pun meskipun belum diajarkan di dalam kelas oleh para ustadznya.
Namun ada fenomena menarik yang perlu kita cermati dalam kehidupan di kedua model pesantren tersebut. Secara logika, peran kyai yang otoriter dalam transformasi wacana pemikiran di pondok pesantren salaf, akan melahirkan pemikir-pemikir tradisional yang kolot, fatalistik dan konservatif, sementara di pondok pesantren modern karena kyai berperan lebih demokratis,  akan melahirkan santri-santri yang terbuka, berwawasan luas dan liberal. Akan tetapi dalam praktek kehidupan nyata, kedua model pendidikan pesantren itu, telah melahirkan alumni yang justru terbalik dari sisi pemikiran. Banyak jebolan pondok pesantren salaf yang menjadi tokoh-tokoh liberal dan modernis muslim Indonesia dan sebaliknya banyak jebolan pondok pesantren modern yang menjadi tokoh-tokoh islam radikal dan konservatif. Kita sebut saja, Ulil Abshar Abdala, penggagas dan ketua Jaringan Islam Liberal (JIL), Abdurrahman Wahid, penggagas demokrasi di Indonesia, Muslim Abdurrahman penggagas fikih emansipatoris dan sebagainya, adalah tokoh-tokoh Muslim Indonesia Kontemporer yang lebih terbuka terhadap pemikiran-pemikiran Islam liberal, pluralisme dan multikulturalisme, padahal mereka adalah para alumni pondok pesantren salaf yang dianggap tradisional.
Sementara itu, tokoh-tokoh pemikiran islam radikal di Indonesia seperti Dr. Hidayat Nurwahid, ketua Partai Keadilan Sejahtera, Abu Bakar Ba’asyir, pimpinan Pondok Pesantren Ngruki Solo,  Dr. Din Samsuddin, ketua PP. Muhammadiyah,  dan masih banyak lagi tokoh-tokoh Muslim Nasional lainnya, yang dianggap memiliki pemikiran anti liberalisme, pluralisme, dan multikulturalisme, adalah alumni Pondok Modern yang menerapkan sistem pendidikan modern. Di samping itu, tokoh-tokoh teroris Indonesia seperti Ali Ghufron, Samudra, Hambali, dan sebagainya adalah alumni Podok Pesantren di Tegal Gulun yang Kyainya adalah jebolan dari Pondok Pesantren Ngruki, yang merupakan cucu dari Pondok modern. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa fenomena seperti ini terjadi? Apakah ada perbedaan antara sistem pendidikan yang diterapkan di kedua model pondok pesantren itu dengan wacana pemikiran yang dikembangkan di dalamnya?  Adakah batasan-batasan tertentu dikedua model pendidikan pesantren itu dalam mengembangkan wacana pemikiran Islam? Bagaimana sikap kyai dan pengasuh pondok pesantren salaf dan modern terhadap masalah liberalisme dan radikalisme? Masalah-masalah inilah yang mungkin masih menggelayut dalam pikiran sebagian orang  yang perlu dijawab dengan serius dan hati-hati.
Menurut hemat penulis, gaya pendidikan ala pondok pesantren modern, kebanyakan lebih bersifat tekstualis dan formalis. Berdasarkan pengalaman penulis pondok pesantren modern lebih mementingkan formalitas dan hapalan-hapalan daripada berpikir kritis dan bebas,  sehingga para santri jarang diberi kebebasan untuk berpikir secara kritis. BIla ada yang mencoba untuk berpikir kritis, mereka segera diinterograsi dan bahkan dikeluarkan dari pondok pesantren, bahkan seringkali para pengurus pondok pesantren merazia buku-buku yang dianggap berbahaya secara pemikiran, yang kemudian harus dirampas oleh pengurus. Karena itu, tidak heran jika di kemudian hari, banyak di antara alumni pondok modern yang berpikiran tekstualis dan condong kepada aliran keras dalam beragama.
Sementara itu model pendidikan pondok pesantren salaf, jauh lebih bebas daripada pondok pesantren modern, mulai dari kedisiplinan hingga sistem pengajaran. Mereka lebih bebas untuk mengemukakan pendapat dalam suatu permasalahan. Pada malam-malam tertentu, biasanya mereka mengadakan bahsul masail di mana di dalamnya para santri bebas berpendapat untuk membahas tentang suatu masalah asalkan mereka memiliki hujjah yang kuat dan rujukan yang bisa dipertanggung jawabkan. Hal inilah yang mungkin menjadikan lulusan pondok pesantren salaf lebih terbuka daripada alumni pondok pesantren modern.
Memang apa yang dipaparkan di atas tidak seluruhnya demikian, banyak juga alumni pondok pesantren modern yang menjadi pelopor pemikiran islam liberal, seperti Nurcholish Madjid dan sebaliknya banyak juga alumni pondok pesantren salaf yag menjadi pemimpin gerakan Islam radikal. Di samping faktor pendidikan di pesantren, memang ada unsur-unsur lain yang berpengaruh, seperti pergaulan, organisasi, buku-buku bacaan dan sebagainya, yang semuanya juga ikut andil dalam mempengaruhi pemikiran seseorang. Wallahu a’lam bishawab.

1 komentar:

  1. jadi menurut saya ya kembali ke manusianya masing masing bung. lulusan pesantren salaf bisa saja mejadi radikal dan sebaliknya lulusan pesantren modern bisa saja jadi lebih liberal.
    karena banyak faktor yg mempengaruhinya:seperti tempat dimana dia mengembangkan intelektualnya, buku2 yg dibaca, persinggungan budaya dll.
    jd memang tidak bisa dijeneralisir jebolan pesantren salaf lantas menjadi insan liberal semua. dan jebolan pesantren modern menjadi manusia radikal. wallahu'alam.

    BalasHapus